
LELAKI MALAM SUNYI
I
Kian larut Malam berselimut dingin sunyi memagut
Rembulan bersinar redup malu-malu
membelai pucuk-pucuk cemara
Lelaki paruh baya tetap terpaku menatap lurus ke ujung danau
Tetes-tetes embun sudah singgah di rambut
yang berhiaskan uban
Dalam kesendirian menikmati malam
yang sudah beranjak pagi
Sesekali ia sapu rambutnya yang telah basah
Oleh tetes-tetes embun
yang turun sepanjang malam
Sejenak ia tengadahkan kepala, menatap langit
yang bertabur gemintang dan sederet awan tipis
Sejurus waktu beranjak menyusuri jalan setapak yang masih sunyi
Terputus lamunannya ketika lamat-lamat suara muazin
terdengar di kejauhan memanggil ummatNya yang masih dibuai mimpi
Dahaga rohaninya telah sedikit tersirami
dua rakaat yang ia persembahkan padaNya
Hari terus berganti
ia semakin tenggelam dalam pekatnya malam dan kesunyian
II
Dan suara malam-malam itupun
kembali menari mengiang usap gendang telinga
lelaki sahaya terduduk lesu
di ujung penantian
O, matanya terpejam sesaat
O, matanya terpejam entah berapa saat
Sunyi, sunyi semakin sunyi
Sunyi tak sesunyi gemuruh yang berputar
di telinga dan fikiran tak lagi
bisa disebut putih
Ia semakin dalam dan tenggelam
dan tenggelam semakin dalam
Sedetik membuka kelopak matanya
menatap sunyinya malam
Sebersit senyum tersungging di bibirnya
mengering
Sejenak hilang beban di wajahnya
Mata cekung itu kembali menutup diam
bersama hembusan angin terakhir.
Banjarbaru, Mei 2006
MALAM BAYANG-BAYANG
Malam.
Sunyi tak terdengar lagi
riuh rendah prahara siang hari.
Hanya nyanyian serangga malam
kerlip bintang bercengkrama riang.
Malam.
Semua yang kutemui dalam siang
hanya bayang-bayang,
hijaunya pepohonan bayang-bayang
hijaunya rerumputan bayang-bayang
hijaunya padi hamparan bayang-bayang
hijaunya biru pegunungan bayang-bayang
manusia-manusia tak terkecuali bayang-bayang
Malam.
Mungkin tetap sebuah bayang.
Bayang menyimpan sejuta misteri dan keindahan.
Dalam kelam dan bayang-bayang,
Kesejukan mengaliri pembuluh darah
yang berpijar
keteduhan menyapa mata yang meradang.
Dalam bayang-bayang malam,
kutemukan kegairahan jiwa yang lelah
lewat bias-bias beningnya embun
lewat desauan angin semilir
lewat gemercik sungai mengalir
syahdu membelah malam.
Banjarbaru, Juli 2006
KABUT MEMBIAS MENEMBUS BATAS
Dingin memagut sepi
Kabut berarak melabrak
Sayap-sayap malam
Pekat menyergap raga-raga lelap
Pekat menyergap dahan-dahan rindang
Pekat menyergap kepak-kepak kelam
Pekat menyergap menelan sendi-sendi malam
Dingin memagut sepi
Memagut apa menembus segala
Tiang-tiang
Dinding-dinding
Kisi-kisi
Bunyi-bunyi
Sunyi-sunyi
Tak ada bidang sebagai batas-batas
.
Banjarbaru, Juli 2006
KABAR RANTING TERBAKAR
hari ini aku menatap langit
yang belum lagi cerah membiru
ingin kulukis sederet awan putih tipis
kuperjelas warna birumu
burung-burung menari riang melayang-layang
tapi
semua kembali sirna
lenyap ditelan asap membubung
gulung menggulung mengisi memenuhi
angkasa raya
tak ada satwa bebas berterbangan
tak ada satwa bebas di rerimbunan
tak ada satwa lelap di peraduan
tak ada satwa yang tak terancam
semua tegak dan siaga
semua berlari selamatkan diri
belantara rindang liar semak belukar
surga kehidupan
musnah
digulung dilumat kobaran sang pemusnah
api namanya
tak ada hutan menghijau
tak ada bukit menghijau
tak ada gunung menghijau
semua menjadi hamparan kecoklatan menghitam
kegersangan melanda
kekeringan merajalela
keheningan menyergap malam
angin kirimkan kabar ranting yang terbakar
satu denyut terputus
Banjarbaru, September 2006
KUMASIH DI SINI
aku masih tatap matamu
di sini
aku masih belai rambutmu
di sini
aku masih genggam jemarimu
di sini
aku masih kecup senyummu
di sini
aku masih peluk tubuhmu
di sini
kumasih di sini
hingga bayangmu memudar
ke pucuk bulan
ke bintang-bintang
ke puncak langit ketujuh
ke hadapan tuhan
Banjarbaru, Juli 2007
KETIKA KATA TAK LAGI BERMAKNA
ada yang tak bisa kusingkap
ketika kata tak lagi punya makna
yang menjadi sebuah harap
yang menjadi sebuah asa
yang menjadi sebuah rasa
yang menjadi sebuah citra
ketika kata mempertanyakan dimana
kudapat sekali sebuah tanya tak terjawab
di antara deret kata
yang tak lagi punya makna
yang hanya sia-sia
yang hanya hampa belaka
ahh!
satu satu kurajut kata kata
yang dulu akrab di telinga
perlambang beribu makna
ahh!
lagi lagi
sia sia
Banjarbaru, Maret 2008
SISA-SISA ASA
terik matari tak ada arti
rinai hujan pun takkan juga
dapat berbuat banyak
ketika hati sudah
tak bisa merasa
tak bisa mendengar
tak ada asa
tak ada harap
berharap merasa tetap sebuah harap
berharap mendengar tetap sebuah harap
berharap asa itu ada tetap sebuah harap
kucoba tengadah pandang matari
mencari rinai hujan terakhir
berharap asa itu ada
walau hanya sisa-sisa
Banjarbaru, April 2008
MALAM, KUCARI JAWAB
kudatang pada malam
kupandang kerlip bintang
kuajak berbincang
kuberbincang tentang malam
yang slalu kusimpan tanya
tentang apa
apa apa dan mengapa
kenapa, yang slalu kucari jawab
ada selembar rindu
ada seberkas sepi
ada sebongkah harap
ketika malam kembali menyapa
ketika bintang kembali memandang
aku begitu kecil
aku tak lebih setitik debu
tertiup angin yang membelai malam
aku yang tak mampu
merengkuh sepotong malam
tuk kusimpan dan kusimpan
aku begitu kecil
Banjarbaru, Juni 2008
PANCARAN KESEMPURNAAN
kutermenung memandang bulan
nun jauh di awan
ketika tak hingar bingar kudengar
ketika tak pijar-pijar kemerlap berpendar
ketika sunyi memagut keheningan
kududuk di teras malam
kupandang bulan nun jauh di awan
kupandang matamu Tuhan
begitu indah
begitu anggun
begitu sejuk menusuk kalbu
pancaran sinarmu pancaran ampunan
yang tak berhingga
yang tak pilih siapa
o…damai yang sempurna
takkan pernah terserupa
meski lewat pijar-pijar kemerlap
yang di satu waktu selalu lenyap
pancarMu teramat sempurna dan abadi
Banjarbaru, Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar