Selamat Datang di Kawasan Penyair Kota Idaman Terima Kasih Kunjungan Anda

Rabu, 18 Mei 2011

Iberamsyah Barbary



Iberamsyah Barbary lahir di Kandangan – Kalsel, 02 Januari 1948. Pensiunan Pegawai BUMN ini aktif menulis dari tahun 1963 s/d 1972 dan kembali aktif menulis lagi 2008 sampai dengan sekarang. Dalam data-data Kesenian Daerah Kalsel proyek Pusat Pengembangan Kesenian Kalsel Depdikbud 1975/1976 dia dimasukkan dalam priodesasi kesastraan Kalsel angkatan 70. Pada masa tahun 70-an itu karya puisinya banyak diterbitkan Harian Lokal seperti Banjarmasin Post, Gawi Manuntung dan Dinamika Berita. Menjalani masa pensiun dia berdomisili di Komp Perumahan Banjarbaru Permai Jl. Padang no 67 Banjarbaru – Kalsel ,70712, telp. 0511-4782040 dan hp 081381667070


CERITA TENTANG SUNYI

Ketika ijab kabul merobah arah jarum jam
Detak dan waktu berhenti dan berdenyut, lalu sunyi.
Menepi dalam sudut hati yang tidak aku mengerti.
Mengapa terjadi pagi-pagi ini,kuncup belum sempat merekah menebar pesona kumbang
Aku hanya tahu ada sunyi, bergelayut pada lampu teplok yang tambah temeram.
Tidak ada lagi pembelajaran juz’amma disetiap muara malam yang selalu menyentuh manjanya hati ini.
Aku tadarus sendiri dengan lagu-lagu yang belum dimengerti
Untuk bermimpi indah kubuai malam dengan taburan bintang-bintang cemerlang
Untuk sedikit harapan ‘ku genggam kerlip kunang-kunang malam, walau sekerdip pandang kulantangkan syair-syair suci agar membara.
Gigil dan gemeretak malam menggores dalam-dalam menggurat lukisan malam yang sunyi.
Kutuangkan semua warna sedu sedan ini
Untuk memperoleh arti, sunyi yang hakiki.

Banjarbaru, Maret 2009



Daeng JK

Sang pujangga penyemai damai anak negeri
Yang terjaga, ketika lelap digamit mimpi yang berkeringat
Malam larut dalam gerah, ditelan bulan merah saga
Menebar makhluk-makhluk yang merasa cinta tak bersambut
Sepanjang tahun, sabar sudah tidak berbunga melahirkan buah
Berkepanjangan hujan panas memetiki harap
Sudah terkapar ditengah gusar
Gerhanalah cinta, didada ibu yang mengalir air kasih
Anak negeri bertengkar?
Selendang sutra nusantara robek, tangis menyala

Yang terjaga, ketika banyak telunjuk mengacung,
mencari muka yang tersembunyi dalam tengadah
Dia kembangkan layar, seimbangkan cadik
Menghentak laut, menghardik angin panas yang merobek
Tegar mengurai buhul kusut sudah terjerat mati
Menghampar salam silaturrahim, menebar beras kuning
Menapung tawari adat yang terlangkahi

Yang terjaga, mendayung dua tiga pulau terlupakan
Menghimpun takwil mimpi yang berserakan
Menggapai yang hanyut diarus deras, menikam tebing
Menawar yang demam didera bakteri yang kesumat,
menusuk sendi
(dibiarkan, melumat pulau-pulau, menghirup lautan, burung-burung galau meratapi ikan terkapar tertusuk karang)

Dia genggam bara dipulau,
pada tangan-tangan menyala
Memecut awan menabur hujan, menyemai damai
Sang pujangga lugas, tegas melantunkan kidung para empu-empu penempa martabat;
“Kita penentu mimpi, diatas segala bara yang menyala dan debur gelombang yang bertubi”
Lebih cepat bertambat jabat lebih baik, segera berlabuh merapat didermaga
Birahi menunggu muatan
Didada ibu mengalir air kasih sepanjang cinta bertaut


Depok, Mei 2011


PERSALINAN HIDUP

“untuk cucuku yang baru mengintip dunia:
Muhammad Farras Ardani”

Sembilan bulan sembilan hari, segumpal darah berbung-kus bulan dan matahari
Memindai alam sang pencipta, menata jiwa membentuk raga
Mengurai sabda dilembaran hitam putih
Yang diserah terimakan dibalik pintu rahasia

Pelajaran pertama;
Mengintip kasih dijendela ibu, ai…. rama-rama kecil bercanda
Rintih diam dalam tulus, senyum meluncur lepas
Menyambut lengking seruling memecah hening
Nahoda baru telah berlabuh, merapat diteluk semenan-jung rindu
Bisik azan menyentil ditelinga kanan;
“kenal Tuhanmu dalam sholat, rebut kemenangan, hai sang juara”
Terhampar rizki dan martabat seluas laut lepas
Siapa cerdas bersyukur, terampil bersiasat,
dia dapat anugerah tanpa syarat

Pelajaran kedua;
Satu dua tetes puting kasih mengaliri kepundan jiwa
Mengeja satu dua kata, sungging senyum sambung rasa
Melangkah satu dua bata, menyerap pasti segala yang bergoyang
Membaca alur angin bertiup, menatap nyala bintang dimata ibu
Kemana haluan berkiblat

Pelajaran ketiga ;
Aku kapal, adalah wadah mengapung diri
Meniti samudera, di mana raga masih tergadai
Aku nahoda, sahabat bintang-bintang, yang membisikkan arah mata angin, kemana jiwa mengejar
Kalau begitu, kau dan aku adalah ;
“Rumpun angin dan gulungan gelombang, yang berlabuh dan merapat dalam putaran waktu”
Agar pulau-pulau damai dalam takdir, aku dan kau satu tujuan



Depok. RS. Hermina Mei 2011


CUCUKU PEREMPUAN
“buat : Faza, Yuna, Tata dan Yasmin”

Kalau engkau wanita, berdirilah tegak setegar, Kartini
Buka jendela hati, harum melati spirit pagimu
Menguak takdir, bisa berlari lebih dari lelaki
Tangkap kesempatan, senyum ibu
Warnamu

Kalau engkau wanita, memandanglah tajam, Malahayati
Gelombang lautmu tak berkedip dihati luas lepas
Gelora tak terusik, dalam deru siang dan malam
Dermaga kasih pelukan ibu, harapan negeri
Senyum laksamana, damai merapat dihati

Kalau engkau wanita, berdirilah lantang, haram menyerah
Ratu Jaleha pembela negeri yang direndahkan
Keris ditangan, bukan hanya tanda lelaki
Dihatimu waja sampai keputing, harga diri
Wanita tahu adat pembela martabat
Kata Ratu, amanat Ibu

Kalau engkau wanita, sudah menjadi para istri
Siti Khadijah kandil gemerlap digurun jahiliyah
Nyala wanita pendamping nabi :
Tak kunjung padam dalam setia, sumber motivasi
Tak kunjung redup dalam cinta, berbuah iman
Tak habis sayang menopang revolusi, menebar salam
Pelukan ibu, sorga dalam desah nafasmu

Depok, Mei 2011


PERNAH SAYANG

Bila engkau pernah sayang
Sanjungan yang pernah dilepas, jangan dibuang
Titipkan sama burung yang selalu terbang
Bermadah kicau, alam menyambut sayang

Bila engkau pernah sayang
Jangan cinta dipatah, hati dengan benci
Sengsara jiwa, buah tak jadi

Cinta dipatah, retaklah cermin
Cemberut muka tampak jiwa menyesal nasib
Bila sayang ditanam, pasti kasih bersambut
Daun yang layu berputik rindu
Insya Allah, benci membawa hikmah.

Depok, Mei 2011

Senin, 24 Januari 2011

HE Benyamine







HE. Benyamine, kelahiran Martapura Kalimantan Selatan, menamatkan sekolah menengah di SMAN I Rantau, sekarang tinggal di Kota Banjarbaru. Disamping menulis puisi, cerpen juga menulis esai dan artikel yang banyak dimuat baik di media cetak lokal mau pun nasional.


POHON TANPA HUTAN

Kebuasan masih meraja rela
Hukum rimba yang masih ada
Yang lemah yang kalah
Ketidakberdayaan menjiwai pasrah

Hutan belantara yang mana tersisa
Hingga manusia menjadi serigala bagi sesama
Yang kecil yang tersingkir
Kemiskinan mengelilingi yang kikir

Hutan hanyalah kenangan
Pohon tumbuh tanpa hutan
Yang miskin yang bersabar
Kebiadaban tetap subur

Bencana berencana
Melahap semua
Yang dhuafa yang berqurban
Kebodohan yang memisahkan pohon dari hutan

Banjarbaru, 12 Februari 2003

LUBANG TAMBANG

Lubang-lubang raksasa menantang langit
Sembunyikan duka samarkan rasa takut
Hilang sudah keragaman dan kerabat dekat
Dibabat gelombang gemerlap khianat

Lubang hitam terbengkalai
Bergelimpangan dengan perut terburai
Sadis tergambar pembunuhan berantai
Meradang ditusuk bertubi-tubi

Berkubang air mata saat hujan menyapa
Menganga kaku, “Mengapa tidak kau ratakan saja!”
Hanya gemuruh mesin hisap jeritan luka
Kenikmatan laknat melahap bangkai sesama saudara

Banjarbaru, 26 Februari 2009


KEHADIRAN YANG ILAHI

Rasa lapar dahaga
kecupan kekasih hidup
yang mencumbu memberi rindu
raih segera tak berakhir
tertahan penantian tak hilang

Bulan seribu bulan
kemiskinan yang merayu hidup
rasakan lapar dahaga mendarah waktu
sungguh hijab ibadah puasa
rasakan lapar dahaga tiada miskin terasa

Bulan seribu bulan
tiada timbangan perhitungan dagang
rasakan lapar dahaga meraih untung
kalikan pahala mendamba segunung
hingga terlelap membeban raga

Bulan seribu bulan
lapar sesaat, terisi kenyang
dahaga sesaat, setetes merembes sesal
rasakan kehadiran Yang Ilahi dahaga hidup
sadar akan selalu berharap keridlaan Allah

Banjarbaru, 11 Agustus 2010 (1 Ramadhan 1431 H)

Senin, 01 November 2010

Husnul Khatimah



Lahir di Guntung Payung, Banjarbaru Kalsel, 7 Nopember 1978
Menyenangi sastra sejak di SMP, banyak puisinya belum sempat dipublikasikan di media cetak cuma di situs www.zaharani.multiply.com Disampimg membaca puisi juga senang di seni tari dan teater. Bergabung di Kelompok Studi Sastra Banjarbaru yang dipimpin Arsyad Indradi.
Pekerjaan sehari-hari berwiraswasta. Tinggal di Banjarbaru jalan A.Yani KM. 29.400 No. 10 Guntung Payung, Landasan Ulin, Kota Banjarbaru.
Telp : 0813 511 26900 / 0511- 712 6900

Kisahmu duhai anakku
Duh anakku
Tak kusangka hadirmu didiriku
Hingga harus kulepas kepergianmu
Maafkan ya nak Bundamu
Tak berujung fikirku
Saat tersudut di relung kalbu
Kelu lidah membeku
Menuai tangisan sedu
Duh anakku
Bila rindu mendatangimu
Jangan lah kau surutkan langkahmu
Menujulah padaku…Ibumu
Tak tergantikan sosokmu
Saat Ibumu ini menuju pencipta-Mu
Syahdu kita bersatu
dalam rentang waktu melepasmu
Tegarkan aku, kuatkan aku,
Ibumu
Duhai anakku
Dalam genggaman-Mu
Sepenggal yang tersisa,

Banjarbaru tanah banyuku,
05 Maret 2009.


Akhir hari ini

Se poci teh terhidang sore ini
Menemani sisa hari melepas sunyi
Saat kureguk setetes air manis ini
Kutemukan tatapmu dalam sentuhan jemari
Ah begitu syahdu
Saat nuansa berpagut rindu
Tertumpah dalam asa yang mendayu
Kita yang merindu
Merindu dalam kesepian
Terhanyut dalam buaian
Merindu dalam kesunyian
Terlarut dalam kemesraan
Ini bukan syair tak bermutu
Tapi memang aku memujamu
Ini bukan kidung tak laku
Namun memang aku mendambamu

Banjarbaru, Tanah Banyuku
05 Maret 2009

Senin, 13 Oktober 2008

Puisi-puisi Suyetno


LELAKI MALAM SUNYI

I

Kian larut Malam berselimut dingin sunyi memagut

Rembulan bersinar redup malu-malu

membelai pucuk-pucuk cemara

Lelaki paruh baya tetap terpaku menatap lurus ke ujung danau

Tetes-tetes embun sudah singgah di rambut

yang berhiaskan uban

Dalam kesendirian menikmati malam

yang sudah beranjak pagi

Sesekali ia sapu rambutnya yang telah basah

Oleh tetes-tetes embun

yang turun sepanjang malam

Sejenak ia tengadahkan kepala, menatap langit

yang bertabur gemintang dan sederet awan tipis

Sejurus waktu beranjak menyusuri jalan setapak yang masih sunyi

Terputus lamunannya ketika lamat-lamat suara muazin

terdengar di kejauhan memanggil ummatNya yang masih dibuai mimpi

Dahaga rohaninya telah sedikit tersirami

dua rakaat yang ia persembahkan padaNya

Hari terus berganti

ia semakin tenggelam dalam pekatnya malam dan kesunyian

II

Dan suara malam-malam itupun

kembali menari mengiang usap gendang telinga

lelaki sahaya terduduk lesu

di ujung penantian

O, matanya terpejam sesaat

O, matanya terpejam entah berapa saat

Sunyi, sunyi semakin sunyi

Sunyi tak sesunyi gemuruh yang berputar

di telinga dan fikiran tak lagi

bisa disebut putih

Ia semakin dalam dan tenggelam

dan tenggelam semakin dalam

Sedetik membuka kelopak matanya

menatap sunyinya malam

Sebersit senyum tersungging di bibirnya

mengering

Sejenak hilang beban di wajahnya

Mata cekung itu kembali menutup diam

bersama hembusan angin terakhir.

Banjarbaru, Mei 2006


MALAM BAYANG-BAYANG


Malam.

Sunyi tak terdengar lagi

riuh rendah prahara siang hari.

Hanya nyanyian serangga malam

kerlip bintang bercengkrama riang.

Malam.

Semua yang kutemui dalam siang

hanya bayang-bayang,

hijaunya pepohonan bayang-bayang

hijaunya rerumputan bayang-bayang

hijaunya padi hamparan bayang-bayang

hijaunya biru pegunungan bayang-bayang

manusia-manusia tak terkecuali bayang-bayang

Malam.

Mungkin tetap sebuah bayang.

Bayang menyimpan sejuta misteri dan keindahan.

Dalam kelam dan bayang-bayang,

Kesejukan mengaliri pembuluh darah

yang berpijar

keteduhan menyapa mata yang meradang.

Dalam bayang-bayang malam,

kutemukan kegairahan jiwa yang lelah

lewat bias-bias beningnya embun

lewat desauan angin semilir

lewat gemercik sungai mengalir

syahdu membelah malam.

Banjarbaru, Juli 2006


KABUT MEMBIAS MENEMBUS BATAS


Dingin memagut sepi

Kabut berarak melabrak

Sayap-sayap malam

Pekat menyergap raga-raga lelap

Pekat menyergap dahan-dahan rindang

Pekat menyergap kepak-kepak kelam

Pekat menyergap menelan sendi-sendi malam

Dingin memagut sepi

Memagut apa menembus segala

Tiang-tiang

Dinding-dinding

Kisi-kisi

Bunyi-bunyi

Sunyi-sunyi

Tak ada bidang sebagai batas-batas

.

Banjarbaru, Juli 2006


KABAR RANTING TERBAKAR


hari ini aku menatap langit

yang belum lagi cerah membiru

ingin kulukis sederet awan putih tipis

kuperjelas warna birumu

burung-burung menari riang melayang-layang

tapi

semua kembali sirna

lenyap ditelan asap membubung

gulung menggulung mengisi memenuhi

angkasa raya

tak ada satwa bebas berterbangan

tak ada satwa bebas di rerimbunan

tak ada satwa lelap di peraduan

tak ada satwa yang tak terancam

semua tegak dan siaga

semua berlari selamatkan diri

belantara rindang liar semak belukar

surga kehidupan

musnah

digulung dilumat kobaran sang pemusnah

api namanya

tak ada hutan menghijau

tak ada bukit menghijau

tak ada gunung menghijau

semua menjadi hamparan kecoklatan menghitam

kegersangan melanda

kekeringan merajalela

keheningan menyergap malam

angin kirimkan kabar ranting yang terbakar

satu denyut terputus

Banjarbaru, September 2006


KUMASIH DI SINI


aku masih tatap matamu

di sini

aku masih belai rambutmu

di sini

aku masih genggam jemarimu

di sini

aku masih kecup senyummu

di sini

aku masih peluk tubuhmu

di sini

kumasih di sini

hingga bayangmu memudar

ke pucuk bulan

ke bintang-bintang

ke puncak langit ketujuh

ke hadapan tuhan

Banjarbaru, Juli 2007


KETIKA KATA TAK LAGI BERMAKNA


ada yang tak bisa kusingkap

ketika kata tak lagi punya makna

yang menjadi sebuah harap

yang menjadi sebuah asa

yang menjadi sebuah rasa

yang menjadi sebuah citra

ketika kata mempertanyakan dimana

kan ku singkap sebuah makna

kudapat sekali sebuah tanya tak terjawab

di antara deret kata

yang tak lagi punya makna

yang hanya sia-sia

yang hanya hampa belaka

ahh!

satu satu kurajut kata kata

yang dulu akrab di telinga

perlambang beribu makna

ahh!

lagi lagi

sia sia

Banjarbaru, Maret 2008


SISA-SISA ASA


terik matari tak ada arti

rinai hujan pun takkan juga

dapat berbuat banyak

ketika hati sudah

tak bisa merasa

tak bisa mendengar

tak ada asa

tak ada harap

berharap merasa tetap sebuah harap

berharap mendengar tetap sebuah harap

berharap asa itu ada tetap sebuah harap

kucoba tengadah pandang matari

mencari rinai hujan terakhir

berharap asa itu ada

walau hanya sisa-sisa

Banjarbaru, April 2008


MALAM, KUCARI JAWAB


kudatang pada malam

kupandang kerlip bintang

kuajak berbincang

kuberbincang tentang malam

yang slalu kusimpan tanya

tentang apa

apa apa dan mengapa

kenapa, yang slalu kucari jawab

ada selembar rindu

ada seberkas sepi

ada sebongkah harap

ketika malam kembali menyapa

ketika bintang kembali memandang

aku begitu kecil

aku tak lebih setitik debu

tertiup angin yang membelai malam

aku yang tak mampu

merengkuh sepotong malam

tuk kusimpan dan kusimpan

aku begitu kecil

Banjarbaru, Juni 2008


PANCARAN KESEMPURNAAN


kutermenung memandang bulan

nun jauh di awan

ketika tak hingar bingar kudengar

ketika tak pijar-pijar kemerlap berpendar

ketika sunyi memagut keheningan

kududuk di teras malam

kupandang bulan nun jauh di awan

kupandang matamu Tuhan

begitu indah

begitu anggun

begitu sejuk menusuk kalbu

pancaran sinarmu pancaran ampunan

yang tak berhingga

yang tak pilih siapa

o…damai yang sempurna

takkan pernah terserupa

meski lewat pijar-pijar kemerlap

yang di satu waktu selalu lenyap

pancarMu teramat sempurna dan abadi

Banjarbaru, Juni 2008

Sabtu, 28 Juni 2008

Arsyad Indradi




Lahir di Barabai, 31 Desember 1949.Menyenangi sastra khususnya puisi sejak duduk di SMP dan SMA. Pada tahun 1970 ketika menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin mulai menulis puisi. Puisi-puisinya banyak diterbitkan di berbagai media cetak lokal seperti di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasi dan lain – lain dan media cetak nasional seperti Harian Republika Jakarta dan lain – lain.
Sejak di SMA dan di Fakultas Hukum ikut bergabung di Lesbumi Banjarmasin dan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 keluar dari Lesbumi dan mengaktifkan diri di Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 bersama Bachtiar Sanderta,Ajamuddin Tifani, Abdullah SP dan lain – lain ( mantan anggota Lesbumi ) mendirikan Teater Banjarmasin khusus menggeluti teater tradisional Mamanda.
Tanggal 5 Juli 1972 Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni RRI Banjarmasin mengadakan diskusi puisi dipimpin oleh Bachtiar Sanderta. Puisi yang didiskusikan Yustan Azidin, Hijaz Yamani, Ajim Ariyadi, Samsul Suhud, Ajamuddin Tifani dan penyair muda Banjarmasin lainnya. Berita diskusi diexpos oleh Lembaran Kebudayaan Perspektif Banjarmasin Post tanggal 17 April 1972.
Sejak tahun 1970 – 1990 tergabung di Perpekindo ( Perintis Peradaban dan Kebudayaan ) Kalimantan Selatan yang berkedudukam di Banjarmasin.
Tanggal 8 - 9 Februari 1972, bersama 15 seniman Banjarmasin mengadakan Aksi Solidaritas turun ke jalan menyuarakan hatinurani karena ketidak pastian hukum di Indonesia, dikenakan pasal 510 KUHP, dijebloskan ke penjara dan dikenakan tahanan luar 3 bulan. Laksus Kopkamtibda Kalimantan Selatan melarang pemeberitaan ini di semua media cetak Banjarmasin. Namun Harian KAMI Jakarta mengexpos berita ini Selasa 15 Februari 1972.
Tahun 1992 menggagas dan mendirikan Dewan Kesenian Banjarbaru bersama seniman – seniman Banjarbaru.
Sejak 1980 an – 1990 an tidak begitu produktif lagi menulis puisi. Aktif menjadi juri lomba baca puisi, juri festival lagu dan menggeluti dunia tari di Balahindang Dance Group Banjarbaru. Pada tahun 2000 mendirikan Galuh Marikit Dance Group Banjarbaru. Tahun 2004 diundang Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada acara Pesta Gendang Nusantara 7 Malaysia.
Tahun 1996 – 2004 bergabung pada Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru. Tahun 2004 mendirikan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ), sebagai ketua.
Selalu aktif menghadiri acara diskusi sastra di Banjarbaru maupun di Banjarmasin, acara tadarus puisi yang rutin tiap tahun di adakan di Banjarbaru, Aruh sastra 1 di Kandangan ( 2004 ) dan aruh sastra III di Kotabaru (2006), Aruh Sastra V di Balangan (2008),Aruh Sastra VI di Barito Kuala (2009).

Dalam catatan Data-data Kesenian Daerah Kalimantan Selatan yang diterbitkan Proyek Pengembangan Kesenian Kalimantan Selatan 1975/1976 digolongkan Penyair/Sastrawan dalam priode menjelang/sesudah tahun 70-an. Di dalam Sketsa sastrawan Kalimantan Selatan yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa Balai Bahasa Banjarmasin 2001, oleh Jarkasi dan Tajuddin Nooor Ganie (Tim Penyusun) digolongkan Sastrawan generasi penerus Zaman Orde Baru (1970-1979). Dan termuat dalam dalam Leksikon Susastra Indonesia (LSI) yang disusun oleh Korrie Layun Rampan Penerbit PT Balai Pustaka Jakarta.

Piagam/Penghargaan dari : Wali Kota Banjarbaru, bidang Tari (2004), Raja Malaka,Malaysia,Rampak Gendang Nusantara VII (2004) dan Rampak Gendang Nusantara XII (2009), Wali Kota Banjarbaru, bidang Sastra (2010) dan Gubernur Kalsel,bidang Sastra (2010).
Pengajar mata kuliah Seni Tari/Drama FKIP jurusan PGTK / PGSD Unlam Banjarbaru dan Pengajar Seni Tari STKIP PGRI Banjarmasin
Pengawas Seni Budaya Dinas Pendidikan Kabupaten Banjar dan TIM Prov/Nasional Pengembang Kurikulum Seni Budaya Sekolah Menengah.

Antologi Puisi bersama antara lain :
Jejak Berlari ( Sanggar Budaya, 1970 ), Edisi Puisi Bandarmasih, 1972, Panorana ( Bandarmasih, 1972), Tamu Malam ( Dewan Kesenian Kalsel, 1992), Jendela Tanah Air ( Taman Budaya /DK Kalsel, 1995), Rumah Hutan Pinus ( Kilang Sastra, 1996), Gerbang Pemukiman ( Kilang Sastra, 1997 ), Bentang Bianglala ( Kilang Sastra, 1998), Cakrawala ( Kilang Sastra, 2000 ), Bahana ( Kilang Sastra, 2001 ), Tiga Kutub Senja ( Kilang Sastra, 2001 ), Bumi Ditelan Kutu ( Kilang Sastra, 2004 ), Baturai Sanja ( Kilang Sastra, 2004 ), Anak Jaman ( KSSB, 2004 ), Dimensi ( KSSB, 2005 ). Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010) dll.
Awal tahun 2006 mendirikan percetakan KALALATU Press Bjb Kalimantan Selatan dan penerbitan.

Semua puisi – puisi yang belum terdokumentasikan sejak tahun 1970 – 2006, dicetak dan diterbitkan berupa antologi tunggal secara swadana dan disebarluaskan ke seluruh Nusantara.
Antologi Puisi sendiri itu , yaitu :
Nyanyian Seribu Burung ( KSSB, 2006 ),
Kalalatu,puisi bahasa Banjar dan terjemahan bhs Indonesia ( KSSB, 2006 ),
Romansa Setangkai Bunga ( KSSB, 2006 ),
Narasi Musafir Gila ( KSSB, 2006 ).
Anggur Duka ( KSSB,2009) dan
Burinik, puisi bahasa Banjar dan terjemahan bhs Indonesia ( KSSB, 2010 ),
ber-ISBN dari Perpustakaan Nasional RI Jakarta.

Empat Antologi Puisi ini mendapat tanggapan berupa esai, dari :
1. Dr. Sudaryono M.Pd ( Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi )“ Narasi Penyair Gila “ Arsyad Indradi, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, minggu 28 Januari 2007.
2. Dr. Sudaryono M.Pd ( Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi )“ Kalalatu “ Balada atau Mantra ? terbit di Cakrawala Seni dan Budaya RadarBanjarmasin, Minggu 25 Februari 2007.
3. Diah Hadaning ( Pengelola Warung Sastra DIHA, Depok Bogor ) “ Setangkai Bunga dalam Seribu Aroma Ekspresi Cinta Lelaki Banjar “, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, Minggu18 Maret 2007.
4. Yusri Fajar ( Penyair dan Staf Pengajar Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya Malang ) “ Nyanyian Seribu Burung : Dari Relasi Manusia Hingga Narasi Indonesia “, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, Minggu 29 April 2007.

Antologi Puisi Dimensi yang menghimpun puisi 10 penyair Banjarbaru yang diterbitkan oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, diulas oleh : Diah Hadaning dengan judul Puisi – Puisi Dimensi ! Simpan Ruh Kalimantan terbit di Bletin Watas Banjarbaru edisi 03/2007.

Dari bulan Oktober 2005 sampai akhir tahun 2005 menghimpun 142 Penyair se Nusantara ( hasil Seleksi dari 186 penyair ) dan jumlah puisi 426 puisi, dihimpun dalam Antologi Puisi Penyair Nusantara : “ 142 Penyair Menuju Bulan “, 728 halaman, dicetak oleh Kalaltu Press Bjb Kalimantan Selatan dan diterbitkan oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ) dengan biaya swadana, untuk cetakan pertama.
Pada cetakan kedua akhir tahun 2007, ada perbaikan dan suplemen berupa epilog – epilog, juga dengan swadana.

Tanggal 7 Desember 2006 duet baca puisi dengan Martin Jankowski pada acara Baca dan Diskusi Puisi “Detik – Detik Indonesia di Mata Penyair Jerman “, yang diselemggarakan Unlam Banjarmasin Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Indonesian Arts and Cultural.
Tanggal 8 – 9 Mei 2006 silaturrahmi, baca dan diskusi puisi di Komunitas ASAS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Komunitas Sastra Ganesa ITB, Komunitas Sastra Pojok Bandung dan Komunitas Rumah Sastra Bandung.
Tanggal 17 – 19 Juli 2007 baca puisi dan mengikuti seminar sastra internasional di TIM Jakarta.

Hari/Tanggal : Senin, 13 Agustus 2007 pembacaan puisi “ Riverside Poetry “ di Tepi Sungai Martapura depan Kantor Gubernur Kalsel menyambut harijadi yang ke-57 Provensi Kalimantan Selatan dan HUT Proklamasi yang ke-62 yang diselenggarakan oleh Panitia harijadi/HUT Proklamasi dan Dewan Kesenian Kalsel.
Tanggal 26 – 28 Oktober 2007 mengikuti Kongres KCI V di Banjarmasin Kalsel dan membaca cerpen.
Tanggal 19 – 21 Januari 2008 mengikuti Kongres KSI 1 di Kudus Jawa Tengah dan baca puisi.

Bersama Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ) mengadakan Work Shop Sastra dan Pelatihan Membaca Puisi, Menulis Puisi dan Cerpen ke SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren di Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru. Pembacan puisi setiap tahun dalam rangka Tadarus Puisi se Kalsel di Banjarbaru.

Baik Puisi-puisi maupun esai/artikel di muat di situs yang dikelola sendiri :
http://arsyadindradi.net
http://arsyadindradi.blogspot.com
http://penyairnusantara.blogspot.com
http://penyair-kalsel.blogspot.com
http://sastrabanjar.blogspot.com

Puisi-puisi antara lain :

Dundang Duka Seribu Burung

Yulan ya lalalin
Dahan mana aku berhinggap
Awan mana aku bersayap
Matahari mana aku berterang
Sawang jadi bayangbayang
Hutan kehilangan pohon
Pohon kehilangan daun
Duka langit luka menganga
Dayak yang nestapa
Pegunungan meratus hancur
Cerobong asap mesin pembabat amuk
Rampok yang mabuk
Damaklah mataangin
Sebab guntung tanpa puaka
Sungai tanpa muara
Kembang ilalang terbang
Kepak sayap yang lengang

Yulan ya lalalin
Kemana senyap kemana ratap
Kemana kepak kemana retak
Dalam sembilu mesin gergaji
Menyarulah sekuat batubatu yang remuk
Pepohonan yang tumbang
Rumah adat yang terbelah
Dalam perangkap eksploitasi
Dan penambang liar membabi
Terbanglah burung seribu burung
Membusur bianglala
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah
Dundang duka seribu burung
Adalah duka dayak terusir
Dari tanah pusaka
Darah getah kayu talikan adalah
Darah dayak tumpah dari balainya

Yulan ya lalalin
Hutan beratus tahun
Dibabat habis
Batubara dikikis
Untuk kekayaan tuantuan
Kami tercampak
Ke lembahlembah pengasingan
Terusir ke padangpadang perburuan
Kabibitak
Anak sima
Halimatak
Bumburaya
O apa bedanya dengan tuantuan
Ladang kehidupan
Kubur kehidupan
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah
Nyalakan damar di uluulu
Meratus menangis
Biarkan darah mengalir
Bertandik di duri rukam
Oi ambilkan sumpit buluh kuning
Di gununggunung batuampar
Ikat talimbaran
Di pancurpancur
Bila pecah bulanai
Jangan dipagat akar kariwaya
Pagari ruh dengan tulangtulang
Pagari ruh dengan darahdarah
Tajaki tunggul puaka di riamriam
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah

Banjarbaru,2002


Dundang Seribu Penanjak

Gerimis apa gerimis aku terjebak
Dalam jala angin apa angin rimba
Dari tebing tapi aku tak ingin
Dengar siulan senja tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku

Dundang, alahai
Sungai berulak di batubatu
Deras mengalir segala rindu
Kutanjak seribu penanjak
Dalam tangkis jarajak
Lanting menyusur arus
Kemana peluh zikir didundangkan
Kutinggalkan seribu suratan
Seribu daunbambu berdesir
Mengeringkan airmata
Mengeringkan `seribu duka
Anak negri dari lereng gunung
Mengarung sungai rindu

Dundang, alahai
Hanya sungai yang memahami
Kalimantan kehilangan ruhnya
Pepohonan dirampok
Isi bumi dirampas
Bencana anak negri
Berakit membasuh segala luka
Gerimis apa gerimis aku terjebak
Dalam jala angin apa angin rimba
Uap fosilbatubara
Tapi aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku
Dalam gumpalan hitamarang
Doa seribu penanjak
Di alir kita bernafas
Di batubatu kita menyaru
Di ulak kita menari
Di deras kita bersunyi
Melepas sangkal di hati
Tapi aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku

Dundang, alahai
Melupa segala kenang
Melupa segala bayang
Teja di atas sungai
Rakit di atas sungai
Seribu penanjak
Harapan di atas ratap
Tenggelam janganlah tenggelam
Di dasar airmata
Maka aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku
Diayun seribu penanjak
Di sungai tak pernah bimbang bercinta
Melupa segala kenang
Melupa segala bayang
Dundang, alahai

Banjarbaru, 2002

*
Dundang, alahai : lagu, nyanyian (meratap)
jarajak : tunggak yang menancap di sungai
Lanting : rakit dari bambu/kayu
menyaru : memanggil/mengundang


Orang Asing


Menyaksikan percintaan seekor baboon
di Suchumi, Kaukasus, orangorang berjubel
tibatiba di antaranya ada yang berseru padaku :
Itu Pierre Brassau si pelukis simpanse
aku telah melihatnya dengan jelas di Goeteborg
tak salah lagi, dia orangnya
Aku malu pada diriku sendiri lalu diamdiam pergi
Dan ketika di tengah riuh tepuktangan Hongaria,
aku membaur di antara kaum zanggi
yang asyik dengan orkestranya
orangorang berjubel
tibatiba di antaranya ada yang berseru padaku :
Itu Pal Ract kelahiran Nograd
Orangorang kagum memandangku
Dengan rasa kecut kutinggalkan warung kopi itu bergegas
Dan ketika di tengah lapangan, dengan rasa ngilu
menyaksikan Adolf Hitler membantai serdadunya sendiri
yang mengunyah musik karena lapar
dan Khomaini seorang sekte itu geram :
Musik tak ubahnya candu, kemudian
mengganyang semua rekaman di Iran
sedang Plato rupanya sejalan pikirannya

Di suatu negeri
orangorang mengerumuni aku
seseorang berkata : Aku tak mengenalnya
dia tak bernapas sedenyut pun
seseorang berkata : Dia hanyut dalam mimpimimpinya
lihat matanya berkacakaca
seseorang berkata : Dia gairah menjilati anganangannya
lihat mulutnya tersenyum
seseorang berkata : Dia sedang berduka
lihat jidatnya penuh luka
seseorang berkata : Dia mabuk rindu
lihat wajahnya ranum
seseorang berkata : Sungguh malang dia korban dekadensi
seseorang berkata : Hai sepertinya dia kaum metafisis
di antara orangorang berkerumun : Apakah dia seorang
penghuni puing benteng Vredeburg tubuhnya terbujur
kaku
menyedihkan sekali
di antara orangorang berkerumun : Dia mati
lalu menyanyikan sebuah requiem
bagai ruh asap
menyelimuti negeriku
yang terkubur jauh dalam diriku

Banjarbaru,2004

Hamami Adaby


Lahir di Banjarmasin, 3 Mei l942. Kumpulan puisi sendiri : Desah (1984), Iqra (1997), 3 judul buku puisi Dunia Telur,Kesumba dan Nyanyian Seribu Sungai disatukan judul : Nyanyian Seribu Sungai (2002), Bunga Angin (2002), Akuarium (2005), dijadikan satu judul : (Bunga Angin), Dermaga dan Refleksi (2003), dijadikan satu judul : Dermaga. Bahasa Banjar Uma Bungas Banjarbaru (2004). Antologi bersama : Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Garunum (2005) Pernah juara I Panggung Pelajar Banjarbaru (Deklamasi, 1962), juara I mengarang Puisi Hari Ibu (1972), juara I syair hymne Penastani Kalsel dan juara I Nasional (1980 dan 1983), Menerima piagam seni dari Walikota Banjarbaru (2004

Engkaukah yang Menyapa di Cakra ?

(:Diah Hadaning dalam benak ini )

Lombok Mataram

mimpi sahabat darah

engkaukah merauh di Cakranegara ?

Tenun Sukarare gulungan benang

disodok jari sehelai kain. Kau pakai

Kemalik Lingsar.

Bayang raga siapa berdiri

kurauh

ruhmu dirumpun Ngurah Rai

Ranggas hutan jati

kudekap mimpi jadi siang benderang

air kolam bau wangi

Khintamani sempat kupahat batu rindu

dibawah bukit bibir rekah katanya

Sanur pun menggelegak

paha betina diremas mentari

sampai sore rintih pantai

berbusa

tak henti-hentinya

Ruhmu kudupa segala asapranegara dan Ngurah Rai

kucari Banjarmasin Muara Kuin

tak ada dirombong tak ada dijukung

kucari dimana-mana

Banjarmasin, 2002

Ezathabry Husano


Lahir di Kandangan (Kalsel), 3 Agustus 1938. PendidikanSLTA di Kandangan, Pendidikan Pegawai Deppen Tingkat Atas (PPSDA) Banjarmasin (1967), Diklat Kewartawanan se-Indonesia Surabaya (19970), SESPEN I LAN Jakarta (1977), DiklatJjupen BINTER Bandung (1985), Pintaloka Terpadu Madura (1987). Pensiunan PNS sebagai Kepala Deppen Kabupaten Barito Kuala di Marabahan (1983-1994), Karya tulisnya tersebar di berbagai media cetak antara lain : Banjarmasin Post,Radar Banjarmasin, Tabloid Wanyi, Serambi Ummah, Merdeka, majalah Mimbar dan lain-lain. Kumpulan puisi baik tunggal maupun bersama antara lain : Getar (1995), Getar II (1996), Getar III (1996), Datang dari Masa Depan (1999), Perkawinan Batu (2005), Dimensi (2005), Dawat (1982), Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit (1985), Tiga Kutub Senja 2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Baturai Sanja (2004), Bumi Menggerutu (2005).

Sebelum Kota-kota Padam

air danau yang kau kirim ke kota-kota cukuplah

menyejukkan lorong-lorong, sementara manusia

tumbuh di lampu-lampu jalanan menyalakan

sejarah masa kecilku

akankah sungai diseberangkan pula oleh perahu

pengembara ke kota-kota,sesuap nasi mengalir

di matamu, sebagian perahu masa kecilku juga

yang lapar sungai kerinduan, namun dalam perutku

berdiri kota-kota pendakian yang kesekian

seperti kota-kota lain, aku juga mengarang novel

hingga hafal perkampungan paling jauh

seperti kampung masa kecilku pula yang tidur

di surau seharian tak makan apa-apa seharian

seperti kota-kota lain, aku juga mementaskan teater

supaya bisa pulang ke masa kecilku

bermain tembak-tembakkan dengan bebas, seperti

kota-kota yang menghamilimu lenyap dari sejarah

kemanusiaan dan kerinduan

orang-orang pun bicara dengan bahasa isyarat

sebelum kota-kota padam mengusir masa kecilku.

Banjarbaru (1997)