Selamat Datang di Kawasan Penyair Kota Idaman Terima Kasih Kunjungan Anda

Sabtu, 28 Juni 2008

Arsyad Indradi




Lahir di Barabai, 31 Desember 1949.Menyenangi sastra khususnya puisi sejak duduk di SMP dan SMA. Pada tahun 1970 ketika menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin mulai menulis puisi. Puisi-puisinya banyak diterbitkan di berbagai media cetak lokal seperti di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasi dan lain – lain dan media cetak nasional seperti Harian Republika Jakarta dan lain – lain.
Sejak di SMA dan di Fakultas Hukum ikut bergabung di Lesbumi Banjarmasin dan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 keluar dari Lesbumi dan mengaktifkan diri di Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 bersama Bachtiar Sanderta,Ajamuddin Tifani, Abdullah SP dan lain – lain ( mantan anggota Lesbumi ) mendirikan Teater Banjarmasin khusus menggeluti teater tradisional Mamanda.
Tanggal 5 Juli 1972 Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni RRI Banjarmasin mengadakan diskusi puisi dipimpin oleh Bachtiar Sanderta. Puisi yang didiskusikan Yustan Azidin, Hijaz Yamani, Ajim Ariyadi, Samsul Suhud, Ajamuddin Tifani dan penyair muda Banjarmasin lainnya. Berita diskusi diexpos oleh Lembaran Kebudayaan Perspektif Banjarmasin Post tanggal 17 April 1972.
Sejak tahun 1970 – 1990 tergabung di Perpekindo ( Perintis Peradaban dan Kebudayaan ) Kalimantan Selatan yang berkedudukam di Banjarmasin.
Tanggal 8 - 9 Februari 1972, bersama 15 seniman Banjarmasin mengadakan Aksi Solidaritas turun ke jalan menyuarakan hatinurani karena ketidak pastian hukum di Indonesia, dikenakan pasal 510 KUHP, dijebloskan ke penjara dan dikenakan tahanan luar 3 bulan. Laksus Kopkamtibda Kalimantan Selatan melarang pemeberitaan ini di semua media cetak Banjarmasin. Namun Harian KAMI Jakarta mengexpos berita ini Selasa 15 Februari 1972.
Tahun 1992 menggagas dan mendirikan Dewan Kesenian Banjarbaru bersama seniman – seniman Banjarbaru.
Sejak 1980 an – 1990 an tidak begitu produktif lagi menulis puisi. Aktif menjadi juri lomba baca puisi, juri festival lagu dan menggeluti dunia tari di Balahindang Dance Group Banjarbaru. Pada tahun 2000 mendirikan Galuh Marikit Dance Group Banjarbaru. Tahun 2004 diundang Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada acara Pesta Gendang Nusantara 7 Malaysia.
Tahun 1996 – 2004 bergabung pada Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru. Tahun 2004 mendirikan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ), sebagai ketua.
Selalu aktif menghadiri acara diskusi sastra di Banjarbaru maupun di Banjarmasin, acara tadarus puisi yang rutin tiap tahun di adakan di Banjarbaru, Aruh sastra 1 di Kandangan ( 2004 ) dan aruh sastra III di Kotabaru (2006), Aruh Sastra V di Balangan (2008),Aruh Sastra VI di Barito Kuala (2009).

Dalam catatan Data-data Kesenian Daerah Kalimantan Selatan yang diterbitkan Proyek Pengembangan Kesenian Kalimantan Selatan 1975/1976 digolongkan Penyair/Sastrawan dalam priode menjelang/sesudah tahun 70-an. Di dalam Sketsa sastrawan Kalimantan Selatan yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa Balai Bahasa Banjarmasin 2001, oleh Jarkasi dan Tajuddin Nooor Ganie (Tim Penyusun) digolongkan Sastrawan generasi penerus Zaman Orde Baru (1970-1979). Dan termuat dalam dalam Leksikon Susastra Indonesia (LSI) yang disusun oleh Korrie Layun Rampan Penerbit PT Balai Pustaka Jakarta.

Piagam/Penghargaan dari : Wali Kota Banjarbaru, bidang Tari (2004), Raja Malaka,Malaysia,Rampak Gendang Nusantara VII (2004) dan Rampak Gendang Nusantara XII (2009), Wali Kota Banjarbaru, bidang Sastra (2010) dan Gubernur Kalsel,bidang Sastra (2010).
Pengajar mata kuliah Seni Tari/Drama FKIP jurusan PGTK / PGSD Unlam Banjarbaru dan Pengajar Seni Tari STKIP PGRI Banjarmasin
Pengawas Seni Budaya Dinas Pendidikan Kabupaten Banjar dan TIM Prov/Nasional Pengembang Kurikulum Seni Budaya Sekolah Menengah.

Antologi Puisi bersama antara lain :
Jejak Berlari ( Sanggar Budaya, 1970 ), Edisi Puisi Bandarmasih, 1972, Panorana ( Bandarmasih, 1972), Tamu Malam ( Dewan Kesenian Kalsel, 1992), Jendela Tanah Air ( Taman Budaya /DK Kalsel, 1995), Rumah Hutan Pinus ( Kilang Sastra, 1996), Gerbang Pemukiman ( Kilang Sastra, 1997 ), Bentang Bianglala ( Kilang Sastra, 1998), Cakrawala ( Kilang Sastra, 2000 ), Bahana ( Kilang Sastra, 2001 ), Tiga Kutub Senja ( Kilang Sastra, 2001 ), Bumi Ditelan Kutu ( Kilang Sastra, 2004 ), Baturai Sanja ( Kilang Sastra, 2004 ), Anak Jaman ( KSSB, 2004 ), Dimensi ( KSSB, 2005 ). Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010) dll.
Awal tahun 2006 mendirikan percetakan KALALATU Press Bjb Kalimantan Selatan dan penerbitan.

Semua puisi – puisi yang belum terdokumentasikan sejak tahun 1970 – 2006, dicetak dan diterbitkan berupa antologi tunggal secara swadana dan disebarluaskan ke seluruh Nusantara.
Antologi Puisi sendiri itu , yaitu :
Nyanyian Seribu Burung ( KSSB, 2006 ),
Kalalatu,puisi bahasa Banjar dan terjemahan bhs Indonesia ( KSSB, 2006 ),
Romansa Setangkai Bunga ( KSSB, 2006 ),
Narasi Musafir Gila ( KSSB, 2006 ).
Anggur Duka ( KSSB,2009) dan
Burinik, puisi bahasa Banjar dan terjemahan bhs Indonesia ( KSSB, 2010 ),
ber-ISBN dari Perpustakaan Nasional RI Jakarta.

Empat Antologi Puisi ini mendapat tanggapan berupa esai, dari :
1. Dr. Sudaryono M.Pd ( Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi )“ Narasi Penyair Gila “ Arsyad Indradi, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, minggu 28 Januari 2007.
2. Dr. Sudaryono M.Pd ( Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi )“ Kalalatu “ Balada atau Mantra ? terbit di Cakrawala Seni dan Budaya RadarBanjarmasin, Minggu 25 Februari 2007.
3. Diah Hadaning ( Pengelola Warung Sastra DIHA, Depok Bogor ) “ Setangkai Bunga dalam Seribu Aroma Ekspresi Cinta Lelaki Banjar “, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, Minggu18 Maret 2007.
4. Yusri Fajar ( Penyair dan Staf Pengajar Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya Malang ) “ Nyanyian Seribu Burung : Dari Relasi Manusia Hingga Narasi Indonesia “, terbit di Cakrawala Seni dan Budaya Radar Banjarmasin, Minggu 29 April 2007.

Antologi Puisi Dimensi yang menghimpun puisi 10 penyair Banjarbaru yang diterbitkan oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, diulas oleh : Diah Hadaning dengan judul Puisi – Puisi Dimensi ! Simpan Ruh Kalimantan terbit di Bletin Watas Banjarbaru edisi 03/2007.

Dari bulan Oktober 2005 sampai akhir tahun 2005 menghimpun 142 Penyair se Nusantara ( hasil Seleksi dari 186 penyair ) dan jumlah puisi 426 puisi, dihimpun dalam Antologi Puisi Penyair Nusantara : “ 142 Penyair Menuju Bulan “, 728 halaman, dicetak oleh Kalaltu Press Bjb Kalimantan Selatan dan diterbitkan oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ) dengan biaya swadana, untuk cetakan pertama.
Pada cetakan kedua akhir tahun 2007, ada perbaikan dan suplemen berupa epilog – epilog, juga dengan swadana.

Tanggal 7 Desember 2006 duet baca puisi dengan Martin Jankowski pada acara Baca dan Diskusi Puisi “Detik – Detik Indonesia di Mata Penyair Jerman “, yang diselemggarakan Unlam Banjarmasin Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Indonesian Arts and Cultural.
Tanggal 8 – 9 Mei 2006 silaturrahmi, baca dan diskusi puisi di Komunitas ASAS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Komunitas Sastra Ganesa ITB, Komunitas Sastra Pojok Bandung dan Komunitas Rumah Sastra Bandung.
Tanggal 17 – 19 Juli 2007 baca puisi dan mengikuti seminar sastra internasional di TIM Jakarta.

Hari/Tanggal : Senin, 13 Agustus 2007 pembacaan puisi “ Riverside Poetry “ di Tepi Sungai Martapura depan Kantor Gubernur Kalsel menyambut harijadi yang ke-57 Provensi Kalimantan Selatan dan HUT Proklamasi yang ke-62 yang diselenggarakan oleh Panitia harijadi/HUT Proklamasi dan Dewan Kesenian Kalsel.
Tanggal 26 – 28 Oktober 2007 mengikuti Kongres KCI V di Banjarmasin Kalsel dan membaca cerpen.
Tanggal 19 – 21 Januari 2008 mengikuti Kongres KSI 1 di Kudus Jawa Tengah dan baca puisi.

Bersama Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ) mengadakan Work Shop Sastra dan Pelatihan Membaca Puisi, Menulis Puisi dan Cerpen ke SMP, SMA, Perguruan Tinggi dan Pondok Pesantren di Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru. Pembacan puisi setiap tahun dalam rangka Tadarus Puisi se Kalsel di Banjarbaru.

Baik Puisi-puisi maupun esai/artikel di muat di situs yang dikelola sendiri :
http://arsyadindradi.net
http://arsyadindradi.blogspot.com
http://penyairnusantara.blogspot.com
http://penyair-kalsel.blogspot.com
http://sastrabanjar.blogspot.com

Puisi-puisi antara lain :

Dundang Duka Seribu Burung

Yulan ya lalalin
Dahan mana aku berhinggap
Awan mana aku bersayap
Matahari mana aku berterang
Sawang jadi bayangbayang
Hutan kehilangan pohon
Pohon kehilangan daun
Duka langit luka menganga
Dayak yang nestapa
Pegunungan meratus hancur
Cerobong asap mesin pembabat amuk
Rampok yang mabuk
Damaklah mataangin
Sebab guntung tanpa puaka
Sungai tanpa muara
Kembang ilalang terbang
Kepak sayap yang lengang

Yulan ya lalalin
Kemana senyap kemana ratap
Kemana kepak kemana retak
Dalam sembilu mesin gergaji
Menyarulah sekuat batubatu yang remuk
Pepohonan yang tumbang
Rumah adat yang terbelah
Dalam perangkap eksploitasi
Dan penambang liar membabi
Terbanglah burung seribu burung
Membusur bianglala
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah
Dundang duka seribu burung
Adalah duka dayak terusir
Dari tanah pusaka
Darah getah kayu talikan adalah
Darah dayak tumpah dari balainya

Yulan ya lalalin
Hutan beratus tahun
Dibabat habis
Batubara dikikis
Untuk kekayaan tuantuan
Kami tercampak
Ke lembahlembah pengasingan
Terusir ke padangpadang perburuan
Kabibitak
Anak sima
Halimatak
Bumburaya
O apa bedanya dengan tuantuan
Ladang kehidupan
Kubur kehidupan
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah
Nyalakan damar di uluulu
Meratus menangis
Biarkan darah mengalir
Bertandik di duri rukam
Oi ambilkan sumpit buluh kuning
Di gununggunung batuampar
Ikat talimbaran
Di pancurpancur
Bila pecah bulanai
Jangan dipagat akar kariwaya
Pagari ruh dengan tulangtulang
Pagari ruh dengan darahdarah
Tajaki tunggul puaka di riamriam
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah

Banjarbaru,2002


Dundang Seribu Penanjak

Gerimis apa gerimis aku terjebak
Dalam jala angin apa angin rimba
Dari tebing tapi aku tak ingin
Dengar siulan senja tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku

Dundang, alahai
Sungai berulak di batubatu
Deras mengalir segala rindu
Kutanjak seribu penanjak
Dalam tangkis jarajak
Lanting menyusur arus
Kemana peluh zikir didundangkan
Kutinggalkan seribu suratan
Seribu daunbambu berdesir
Mengeringkan airmata
Mengeringkan `seribu duka
Anak negri dari lereng gunung
Mengarung sungai rindu

Dundang, alahai
Hanya sungai yang memahami
Kalimantan kehilangan ruhnya
Pepohonan dirampok
Isi bumi dirampas
Bencana anak negri
Berakit membasuh segala luka
Gerimis apa gerimis aku terjebak
Dalam jala angin apa angin rimba
Uap fosilbatubara
Tapi aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku
Dalam gumpalan hitamarang
Doa seribu penanjak
Di alir kita bernafas
Di batubatu kita menyaru
Di ulak kita menari
Di deras kita bersunyi
Melepas sangkal di hati
Tapi aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku

Dundang, alahai
Melupa segala kenang
Melupa segala bayang
Teja di atas sungai
Rakit di atas sungai
Seribu penanjak
Harapan di atas ratap
Tenggelam janganlah tenggelam
Di dasar airmata
Maka aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku
Diayun seribu penanjak
Di sungai tak pernah bimbang bercinta
Melupa segala kenang
Melupa segala bayang
Dundang, alahai

Banjarbaru, 2002

*
Dundang, alahai : lagu, nyanyian (meratap)
jarajak : tunggak yang menancap di sungai
Lanting : rakit dari bambu/kayu
menyaru : memanggil/mengundang


Orang Asing


Menyaksikan percintaan seekor baboon
di Suchumi, Kaukasus, orangorang berjubel
tibatiba di antaranya ada yang berseru padaku :
Itu Pierre Brassau si pelukis simpanse
aku telah melihatnya dengan jelas di Goeteborg
tak salah lagi, dia orangnya
Aku malu pada diriku sendiri lalu diamdiam pergi
Dan ketika di tengah riuh tepuktangan Hongaria,
aku membaur di antara kaum zanggi
yang asyik dengan orkestranya
orangorang berjubel
tibatiba di antaranya ada yang berseru padaku :
Itu Pal Ract kelahiran Nograd
Orangorang kagum memandangku
Dengan rasa kecut kutinggalkan warung kopi itu bergegas
Dan ketika di tengah lapangan, dengan rasa ngilu
menyaksikan Adolf Hitler membantai serdadunya sendiri
yang mengunyah musik karena lapar
dan Khomaini seorang sekte itu geram :
Musik tak ubahnya candu, kemudian
mengganyang semua rekaman di Iran
sedang Plato rupanya sejalan pikirannya

Di suatu negeri
orangorang mengerumuni aku
seseorang berkata : Aku tak mengenalnya
dia tak bernapas sedenyut pun
seseorang berkata : Dia hanyut dalam mimpimimpinya
lihat matanya berkacakaca
seseorang berkata : Dia gairah menjilati anganangannya
lihat mulutnya tersenyum
seseorang berkata : Dia sedang berduka
lihat jidatnya penuh luka
seseorang berkata : Dia mabuk rindu
lihat wajahnya ranum
seseorang berkata : Sungguh malang dia korban dekadensi
seseorang berkata : Hai sepertinya dia kaum metafisis
di antara orangorang berkerumun : Apakah dia seorang
penghuni puing benteng Vredeburg tubuhnya terbujur
kaku
menyedihkan sekali
di antara orangorang berkerumun : Dia mati
lalu menyanyikan sebuah requiem
bagai ruh asap
menyelimuti negeriku
yang terkubur jauh dalam diriku

Banjarbaru,2004

Hamami Adaby


Lahir di Banjarmasin, 3 Mei l942. Kumpulan puisi sendiri : Desah (1984), Iqra (1997), 3 judul buku puisi Dunia Telur,Kesumba dan Nyanyian Seribu Sungai disatukan judul : Nyanyian Seribu Sungai (2002), Bunga Angin (2002), Akuarium (2005), dijadikan satu judul : (Bunga Angin), Dermaga dan Refleksi (2003), dijadikan satu judul : Dermaga. Bahasa Banjar Uma Bungas Banjarbaru (2004). Antologi bersama : Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Baturai Sanja (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Garunum (2005) Pernah juara I Panggung Pelajar Banjarbaru (Deklamasi, 1962), juara I mengarang Puisi Hari Ibu (1972), juara I syair hymne Penastani Kalsel dan juara I Nasional (1980 dan 1983), Menerima piagam seni dari Walikota Banjarbaru (2004

Engkaukah yang Menyapa di Cakra ?

(:Diah Hadaning dalam benak ini )

Lombok Mataram

mimpi sahabat darah

engkaukah merauh di Cakranegara ?

Tenun Sukarare gulungan benang

disodok jari sehelai kain. Kau pakai

Kemalik Lingsar.

Bayang raga siapa berdiri

kurauh

ruhmu dirumpun Ngurah Rai

Ranggas hutan jati

kudekap mimpi jadi siang benderang

air kolam bau wangi

Khintamani sempat kupahat batu rindu

dibawah bukit bibir rekah katanya

Sanur pun menggelegak

paha betina diremas mentari

sampai sore rintih pantai

berbusa

tak henti-hentinya

Ruhmu kudupa segala asapranegara dan Ngurah Rai

kucari Banjarmasin Muara Kuin

tak ada dirombong tak ada dijukung

kucari dimana-mana

Banjarmasin, 2002

Ezathabry Husano


Lahir di Kandangan (Kalsel), 3 Agustus 1938. PendidikanSLTA di Kandangan, Pendidikan Pegawai Deppen Tingkat Atas (PPSDA) Banjarmasin (1967), Diklat Kewartawanan se-Indonesia Surabaya (19970), SESPEN I LAN Jakarta (1977), DiklatJjupen BINTER Bandung (1985), Pintaloka Terpadu Madura (1987). Pensiunan PNS sebagai Kepala Deppen Kabupaten Barito Kuala di Marabahan (1983-1994), Karya tulisnya tersebar di berbagai media cetak antara lain : Banjarmasin Post,Radar Banjarmasin, Tabloid Wanyi, Serambi Ummah, Merdeka, majalah Mimbar dan lain-lain. Kumpulan puisi baik tunggal maupun bersama antara lain : Getar (1995), Getar II (1996), Getar III (1996), Datang dari Masa Depan (1999), Perkawinan Batu (2005), Dimensi (2005), Dawat (1982), Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit (1985), Tiga Kutub Senja 2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Baturai Sanja (2004), Bumi Menggerutu (2005).

Sebelum Kota-kota Padam

air danau yang kau kirim ke kota-kota cukuplah

menyejukkan lorong-lorong, sementara manusia

tumbuh di lampu-lampu jalanan menyalakan

sejarah masa kecilku

akankah sungai diseberangkan pula oleh perahu

pengembara ke kota-kota,sesuap nasi mengalir

di matamu, sebagian perahu masa kecilku juga

yang lapar sungai kerinduan, namun dalam perutku

berdiri kota-kota pendakian yang kesekian

seperti kota-kota lain, aku juga mengarang novel

hingga hafal perkampungan paling jauh

seperti kampung masa kecilku pula yang tidur

di surau seharian tak makan apa-apa seharian

seperti kota-kota lain, aku juga mementaskan teater

supaya bisa pulang ke masa kecilku

bermain tembak-tembakkan dengan bebas, seperti

kota-kota yang menghamilimu lenyap dari sejarah

kemanusiaan dan kerinduan

orang-orang pun bicara dengan bahasa isyarat

sebelum kota-kota padam mengusir masa kecilku.

Banjarbaru (1997)

Qinimain Zain


East Star from Asia, nama samaran penulis Kalsel paruh akhir dekade 80-an, sementara berdomisili di Banjarbaru. Tulisannya berupa esai, cerita pendek, puisi dan opini di muat di beberapa media cetak, diantaranya majalah Estafet dan Sahabat Pena, serta harian Merdeka (nasional), juga harian Banjarmasin Post, Dinamika Berita dan Radar Banjarmasin (lokal). Beberapa cerita pendek dan puisinya memenangkan beberapa perlombaan. Misal, cerpen Hhh Bandit terpilih sebagai salah satu pemenang lomba penulisan cerpen nasional di Banjarmasin (1992), puisi Alif-alif dinobatkan sebagai puisi terbaik Temu Sastra Kalsel (1988) di Martapura, dan terpilih menduduki lima besar penyair Untaian Mutiara selama tahun 1990 lewat puisi berjudul Ibu di RRI Nusantara III, Banjarmasin, serta telah menulis beberapa buku. Sekarang, bergiat di Rumah Cerita, Banjarbaru, Kalsel.

Sajak Orang Pedalaman

ketika pohon – pohon itu ditebang

tubuh kamilah yang luka pertama kali

ketika pohon – pohon itu tumbang

rumah kamilah yang ditimpa pertama kali

kehidupan hijau dahulu yang kami dambakan

tanda sebagai manusia dari dunia bebas

atas nama kemanusiaan telah disingkirkan

dan ketika pohon – pohon itu diperjualbelikan

kamilah yang terakhir kali merasakan bantuan

ketika sungai sungai itu meluap

airmata kamilah yang mengalir pertama kali

ketika sungai – sungai itu kering

tenggorokan kamilah yang mati pertama kali

kami tak dapat bicara tanpa tenggorokan

dan kami memang tidak memiliki mulut tenggorokan

sebagai ganti rugi semua yang kami dambakan

atas nama kemanusiaan telah disingkirkan

dan ketika sungai – sungai itu meminta korban

kamilah yang terakhir kali merasakan bantuan

bila tubuh kamu hanyut menjadi cerita

bila rumah kami hanyut menjadi cerita

hanya airmata anak – cucu yang dapat kami sisakan

dan ketika semua itu menjadi pilu cerita

kamilah disebut penyebab pertama kali

alasan terakhir atas nama membangun kemanusiaan

Banjarbaru 1990

A.Setia Budhy


Lahir di kota Marabahan, 1 Januari 1965.Sarjana FISP Unlam Banjarmasin dan Master Administrasi Program Pasca Sarjana FISIPOL UGM YogyakartaMulai menulis puisi sejak tahun 1980-an. Publikasi puisinya antara lain : di Banjarmasin Post. Pernah 10 besar Lomba Puisi Hari Pancasila (1987), 10 besar Lomba Tulis Puisi Bahasa Banjar (1992 dan 1994 ), Selain menulis puisi juga artikel umum dan sastra serta tampil sebagai nara sumber seminar dan sarasehan sosial politik dan ekonomi. Antologi puisi bersama : Jendela Tanah Air (DK Prov.Kalsel,1995) dan Narasi Matahari ( 2002 ). Kumpulan cerpennya : Gadis Dayak ( 2004 ).

Kepada Daun

Aklu ingin kalian berdoa

Agar tidurku tak bangun lagi

Dan lelap

Rebah disisiNya

Kemarin pagi Aku kawatir sekali

Burung – burung tak pernah memurkai sesama

Kupu – kupu juga tak biasa mengisap sesama

Daun – daun tak juga pernah jatuh sia – sia

Daun itu berkata : wahai bumi sini aku pupuk tanahmu dengan lembar

Rantingku

Aku merasa hina dihadapan burung, kupu dan daun

Sebab sesamaku kini saling memangsa

Saling memurka, mengisap

Sesamaku saling membantai dan saling melenyapkan

Aku getir sekali

Dan mengharap kalian berdoa sahaja

Agar tidurku tak bangun lagi

Rebah disisiNya

Marabahan Pebruari 02

Abdurrahman al-Hakim ( ARA )


Lahir di Sei.Namang, Kab.HSU Kalsel, 1 Agustus 1976. Mahasiswa Fakultas Sosial Ekonomi Pertanian UVAYA Banjarbaru. Alumnus Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Penyiar di Nirwana FM dan Masa FM Banjarmasin. Aktif di Front Budaya Godong Kelor Indonesia. Pengajar Mata Pelajaran Senibudaya (Seni Teater) di SMK Negeri 1 Martapura.Puisinya banyak termuat di media cetak lokal antara lain Radar banjarmasin, Banjarmasin Post dan di antologi puisi bersama antara lain Kau Tidak Akan Pernak Tahu ( 2006), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).Dibimbing Arsyad Indradi, ARA telah menyelesaikan antologi Puisi Tunggalnya kitab kecil Hikayat Shahifah “ ROH “ diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (2007) dengan swadana, layout dan cetak sendiri yang diprologi Dimas Arika Mihardja dan epilog Sutardji Calzoum Bachri.

Al Mahabbah

Aku yang diselimuti lembah api,

Seluruh nadi perih, berteriak nyeri

Airmata, terurai tiada henti

Sampai kapan kata meniti

Sampai kapan lingkaran ini berhenti

“Kamu” yang kurindukan di taman kematian

Jemput jiwa yang tersiksa dalam penantian

Sukma telahg tercerai-berai, berceceran oleh kerinduan

Hanya untuk mengais secuil belaian

Tarik, tariklah “basyariah” ini

Jangan biarkan kian merintih

Musnah, musnahkan “basyariah” ini

Jangan biarkan terus tertatih

Oh, yang kupuja dalam “ Tasbih”

Pada”Mu”, berserah duhai “ al-Fatih “

Tiada daya upaya, wahai “al-Faqih”

Hingga akhir masa, dengan Sang Kekasih

(Sekumpul,Martapura,Kalsel,malam Minggu, 09.11.02-10:27, kenangan untuk guruku )

Nina Idhiana


Lahir di Banjarbaru, 6 Agustus 1987. Mahasiswa Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Pertambangan Unlam Banjarbaru. Puisinya sering dipublikasikan di harian Radar Banjarmasin dan dimuat di beberapa antologi bersama penyair Banjarbaru di antaranya : Bulan Ditelan Kutu ( 2004 ), Bumi Menggerutu (2005), Kau Tak Pernah Tahu (2006), Seribu Sungai Paris Barantai ( 2006 ). Cerpennya “ Dari Sebuah Rumah Lanting “ meraih Juara I Kompetisi Cerpen Pelajara dan Mahasiswa se-Kalimantan Selatan 2005. Bergabung di Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha dan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ).

Tanda Tanya

lihatlah ke dasar laut !

bawalah embun pagi dari hati kita

ke dalamannya yang suram

lalu hembuskan napas gelisah di karang hitam !

apakah jelaganya merona jadi bianglala ?

ataukah mencurahkan suatu aura ?

atau hanya jadi kepulan kelabu ?

mungkin hatiku adalah karang di lautan

lalu jiwamulah angin yang coba tepis ombak samudera

untuk sekadar memahami arti pertemuan langit dan bumi

tapi akulah yang coba berteduh di bayang bulan

sembunyi dari hasratmu yang menyilaukan

di sini telah bernisan sebuah makam

atas nama kenangan

sanggupkah kegelapan malam kau gali ?

agar dapat kurasakan getaran ini

Banjarbaru, 29 November 2004

Dahaga

Setitik kilau meruntuhkan khayal di tepi pagi

Embun menetes di batin

Aku pasrah pada kehidupan

Tak tahu ke mana harus meniti

Aku bosan pada beban

Ku pun ingin seteguk sejuk yang telah pergi

Aku juga telah lelah

jarakku pada cahaya hanya sedepa

namun keangkuhannya menjadikan jauh beribu tahun

murkanya t’lah mencair jadi titik-titik airmata

( dari : Bumi Menggerutu, 2005 )

M.Rifani Djamhari


Alumnus Jurusan Tanah Fak.Pertanian Unlam Banjarbaru. Salah seorang penggagas berdirinya Keluarga Penulis Banjarbaru (1988 ) dan Forum Taman Hati Banjarbaru ( 2002 ). Pengelola Pusat Dokumentasi Sastra Budaya ( PDSB ) Lentera Banjarbaru. Dia telah menulis buku : “ Karakteristik Ekosistem Pertanitan Lahan Basah Dengan Referensi Khusus Sistem Orang Banjar ( UI Press, 1998 ). Artikenya tentang kebudayaan dan lingkungan hidup, Puisi dan cerpennya banyak termuat di media cetak lokal seperti Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin, serta tergabung dalam antologi Puisi Penyair Banjarbaru dan Penyair Kalsel.

Bab Taubat

Kubaca berulang – ulang Bab Taubat seribu bulan ramadhan

Tak pernah cukup

Jika rumah

maka taubat adalah rumah baru yang pasti

untuk selalu menangis

namun, ternyata

Setiap tahun hanya menyisakan saldo sia – sia

beginikah selalu wahai debu ?

Seribu bulan ramadhan. Tak pernah cukup

Desember 2003 ( dari : Anak Zaman,Dahaga Seni,2004 )

Rahmatiah


Lahir di Nusa Tenggara Barat, 3 Juli 1979. Seorang perawat bekerja di Poltekkes Banjarmasin. Tulisannya berupa sajak pernah dimuat di Radar Banjarmasin, Dinamika & Kriminal (Lampung) dan majalah SABILI .Beberapa sajaknya terdapat dalam Antologi bersama “ Kau tidak akan pernah tahu rahasia sedih tak bersebab “ pemenang penulisan Puisi dan Cerpen pada Aruh Sastra Kalsel 2006.

Perempuan Yang Mencintai Kunang-Kunang

Teringat Ibu

Dia perempuan yang selalu meletakkan lelampu

Di belakang pintu

Lalu kemudian pergi setelah menidurkan gerimis

Yang tergenang di anak rambutmu

Setelah bercerita

Ada kunang-kunang terjebak di rendaman aurmata

Dan tak sempat lagi meneukan lorong cahaya

Perempuab itukah yang dulu pernah menjelajah gelisahmu ?

Menangisi bau rambutmu

Meniupkan selembar rindu yang setiap malam

Meriap di atap-atap

Sebab rumah adalah tempat menumbuhkan kenangan

Tapi

Mungkin perempuan itu kini pun telah menjadi batu

Dalam sumur ingatanmu

Banjarbaru,Januari 2006

Hudan Nur


Lahir di Banjarbaru, 23 November 1985. Sekarang sedang menempuh pendidikandi FKIP UNLAM Banjarmasin. Ia sering mengikuti lomba menulis puisi baik tingkat kota maupun propinsi. Terakhir memenangkan Lomba Penulisan Cerpen dalam rangka Bulan Bahasa se-Kalimantan Selatan. Selain itu, juga eksis dalam penulisan artikel. Ia salah satu aktivis teater. Beberapa sanggar Banjarbaru pernah disinggahinya sewaktu ia duduk di bangku SMA. Namun ia lebih bermonolog. Dalam event-event bertajuk seni ia sering tampil sendiri membawakan musikalisasi puisi. Antologi pribadi: Si Lajang dan Tragedi 3 November. Antologi Bersama: Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005) serta Jejak Tsunami (Medan, 2005). Dalam menulis ia sering menggunakan nama pena K. Ariwa.

Narasi Kebugilan Sejati (2)

(Buat: Kekasihku yang kehilangan keperawanannya)

melalui langkah-langkah abstrak pada bebatuan

yang membisu

kembali engkau kirimkan kabar hari esok

dengan kesadaran berlimpah dan aura

ringkih pembagian narasiku

yang katamu: “airmataku telah dirampok”

“kemaluanku telah dijarah”

“kebebasanku telah disahaya”

aku meyakininya sebagai perpaduan antara pilu dan sepi

purna berbentuk sembilu

penuh sayatan

engkau juga tuliskan teriakan yang dibungkus dalam kartu kematian

namun aku bisa apa jika pesta darah

hanya dihadiri tiga helai kafan dan sebidang tanah?

(In Memorian 23 Januari 2005: 23.45 WITA)


Isuur Loeweng


Lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1980. Berangkat berkesenian sejak 1990 di teater tradisi B2S. Dimasa SLTP pernah ketua Forum Komunikasi Teater SLTP se Kabupaten Bantul. Mahasiswa ISI Yogyakarta jurusan penciptaan Seni Tari. Menulis sajak sejak awal tahun 2005. Kumpulan puisi tunggalnya “ Kumpulan Sajak Buat yang Tercinta “ dan banyak kumpulan puisi bersama antara lain “ Dimensi “,“ Taman Banjarbaru “ Bersama rekan - rekannya mendirikan sebuah buletin “ waTas “ pertengahan tahun 2007, yang memuat warta sastra. Sejak berdomisili di Banjarbaru selalu bergiat pementasan Teater dan menyelenggarakan Lomba Baca Puisi baik tingkat Kota mau pun Provinsi.

Aku Berdiri Di Antara Butiran Cinta

aku berdiri di antara butiran cinta

yang meluap sampai dinding peraduan

aku tak lagi punya tawa

seperti gadis pemintal benang emas kerajaan firaun

aku hanya mampu menengok ke belakang, lalu

melalap genangan waktu yang tak pernah berakhir

dari hadirnya

aku berdiri di antara butiran cinta

yang meluap sampai dinding peraduan

hingga kapal besarku tak mampu,

membawaku ke tepi sunyi di bawah atap tuhan

aku berdiri di antara butiran cinta

yang meluap sampai dinding peraduan

lalu,

aku hanya mampu mengaum seperti singa lapar

tanpa batas waktu pada pusaran angan

hingga malampun tak sudi singgah seperti kemarin

saat bintang berkedip di cakrawala

aku berdiri di antara butiran cinta

yang meluap sampai dinding peraduan

hingga pohon rindang mulai runtuh

tanpa teduh siang hari bersama lumpur

dan,

kerikil tajam percintaan

aku berdiri di antara butiran cinta

yang meluap sampai dinding peraduan

lalu,

tak sanggup rasakan panah-panah meluncur tanpa peduli

mengais, mengoyak kain putik di jasadku

yang mulai berbah warna

kaki langit 190305/130605 ( dari : Dimensi,KSSB,2005 )

Yang Ada Di Antara Mimpi

Jari-jemariku menangis terkais di antara belitan desis

nafasku terkoyak di antara lebat daun kosong

ketika mereka menimang buah zakar pedih

dan melumat dahan rindang kerinduan saat gerimis jatuh

kecil – kecil

kala itu

perjaka malam hampir habis seiring melodi satriani

pada bait terakhir

yang lamat – lamat tergusur desah titisan anak bajang

kelaparan

saat roda waktu telah mendekati subuh

percintaan belum usai kataku

masih ada sisa waktu untuk mendesah di antara desah lain

karena esok hari tak lagi mampu bertegur sapa

seiringmaut yang telah mermbuka kancing bajunya

pada siapa kamu akan pergi

ketika irama merdu nafsu itu datang di antara tangismu

yang mencoba mengais kerinduan yang telah usai bermain

lau tanpa ada ceceran senyum manis yang tertinggal

di antaranya

mampukah sujudmu membawa khayalmu

kembali menyisir tempo hari

ketika rindu – rindu masih tergantung pada lemari imajimu

yang setiap saat menjadi ramuan paling berharga bagimu

atau,

ini hari trakhirmu melumat rajutan benang kusam itu

untuk kesekian kalinya, dan

kau lari pada tiang gantungan nenek moyangmu yang selalu

tersenyum

pada mimpi – mimpimu tempo hari

kaki langit 19 Maret 2005 ( dari : Dimensi,KSSB,2005 )

Ali Syamsuddin Arsi


lahir di Barabai (HST) 1964. Setelah lulus SMA di Jogyakarta kuliah di UT (S I ) Bahasa dan Sastra Indonesia (2000). Pernah aktif pengurus Dewan Kesenian Kotabaru (1998-2002) dan Dewan Kesenian Banjarbaru (2001-2005). Pendiri Forum Taman Hati (ketua). Di Perkumpulan Orang Biasa (POB) menerbitkan Sloka Tepian. Mendapat hadiah seni dari Bupati Kotabaru (1999) dan Gubernur Kalsel (2005). Tulisannya per4nah dimuat di beberapa penerbitan antara lain Banjarmasin Post,Wanyi, Radar Banjarmasin, Dinamika Berita, Majalah Bahana (Berunai), Jendela Serawak (Malaysia) dan lain-lain. Kumpulan puisi pribadi : ASA (1986), Seribu Ranting Satu Daun (1987), Tafsir Rindu (1989), Bayang-Bayang Hilang (2004). Kumpulan puisi bersama : Bandarmasih (1985), Bias Puisi dalam Al Quran (1987), Festival Puisi se Kalimantan (1992), Tamu Malam (1996), Wasi (1999), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Mendulang Cahaya Bulan (2004), Dimensi (2005) dan lain-lain.

Bermain Bersama Anak-anak

Memasuki ruang kasih kalian aku menjadi asing dalam kebersamaan

namun izinkanlah, walau sepintas mungkin tak pantas

aku sudah berupaya agar cinta kita tetap terjaga

seperti kisah-kisah binatang yang sering mengantarkan tidur kalian

setiap malam, atau malam-malam yang lain

ada banyak tayangan, kenangan bahkan panutan

dari bayang-bayang kehadiran, karena dongeng itu

selalu saja menjadi pilihan utama, selain harus lebih banyak membaca buku-buku cerita

sebagai hadiah kenaikan kelas kalian

Memasuki ruang mimpi kalian aku menjadi sesat dalam kesendirian

sementara jalan yang kau lalui tak semuanya aku pahami

tapi tali kendali layang-layang kalian dengan teguh harus kupertahankan

karena angin di luar berhembus sangatlah kencang

belantaramu, ternyata lain dengan rerimbun di zaman berbeda

izinkan aku ikut bermain di tengah-tengah kalian

Tuhan, jarak seperti apa lagi yang akan engkau paparkan

dari lika-likunya kasih dan sayang, sementara cinta

haruslah tetap dipertahankan

walau sampai ke batas kematian

karena keabadian itu merupakan sumber bayangmu

dari zaman ke zaman, dari ruang ke ruang

Tuhan, atas izinmu aku lebih memilih bersama mereka

walau tidaklah harus di tengah mereka

karena di balik dunia, ternyata dunia lain juga ada

Banjarbaru, November 2005

Melati yusuf


Lahir di Banjarbaru, 2 Juni 1984. Mahasiswa Univerwsitas Muhammadiyah Malang jurusan Psikologi. Aktif di Komunitas seni rupa “ Lentera “ UMM. Pernah mengikuti beberapa pameran lukisan di Malang. Di samping melukis juga menyenangi sastra, menulis cerpen dan puisi. Banyak cerpen dan puisinya yang belum sempat dipublikasikan di media cetak. Ia menyiapkan puisi-puisinya yang akan diantologikan secara tunggal. Di Banjarbaru, beralamat di jalan Pandu gg. Arjuna 75 Banjarbaru Kalimantan Selatan , e-mail : melz_artcoholic@yahoo.com

Hidup lagi

Terlambat kubuka mata

Saat sesaat terpejam

Terlambat sadari kalau,

Kali ini aku hidup lagi

Seperti harapanku kemarin

Sebelum kumati

Inginku kau disisiku

Tertidur lelap disampingku

Hingga waktu tak menemukanmu

Kini aku hidup lagi

Setelah pahitnya kenyataan

Membunuhku, merampasmu

Mematahkan setiap langkahku

Marobek-robek hari-hariku

Kepahitan dan kesakitan yang kemarin

Membunuhku, dia pula yang kini…

Menyembuhkanku…dan, aku hidup lagi.

Hidup sebagai sesuatu yang lain

Hidup yang siap membantai atau terbantai,

Atau setidaknya siap terbunuh dan membunuh

Itu harus.

Sekarang aku sempurna

Setelah terbunuh mati.

Dengan kuku-kuku yang panjang, kuat dan tajam

Mengharuskan taring-taringku kokoh, runcing dan panjang.

Dimalam sebelum malam ini

Tuhan ….

Tak sibukkah Kau melihat-lihat umatMu?

Sekiranya tidak.

Mari bantu aku menuliskan malam ini,

Agar malam ini, dan malam seperti ini,

Terbaca jelas segalanya…

Bukan untuk generasi ini, tapi untuk generasiku selanjutnya.

Ini tulisanku, saat ku mabuk, mabuk.

Semua mengalir. Baying-bayang tinggal baying.

Hingga semua terasa memudar

Sesuatu yang dalam kian melayang

Sepertinya tak butuhkan bumi untuk di pijaki.

Temanku berteriak “ Mari lepaskan semua malam ini!!!”

Aku tak mengerti, apa yang harus di lepaskan malam ini?

Akh…! Ada-ada saja temanku.

Satu lagi lintingan tlah kuhabisi,

Setelah yang keempat

Dan entah sudah berapa gelas anggur yang kuteguk?

Kerongkongan semakin terasa kering,

Seiring harapan kian meninggi jauh melayang.

Iya, aku tahu, aku mabuk menulis ini.

Penuh kemabukan

Aku mabuk malam ini.

Malam dimana tahun baru-baru menyapa

Dan aku…mabuk lagi,

Melebihi mabuk malam sebelum-sebelum malam ini.

Apa yang seharusnya kau miliki ?

Jangan pernah bertanya mengapa kita selalu saja merasa sedih atau senang?

Jangan pernah bertanya mengapa angin begitu nyata terasa meskipun tak terlihat?

Jangan pernah bertanya mengapa jantung dan hati letaknya berdekatan?

Jangan pernah bertanya mengapa menangis itu melegakan?

Jangan pernah bertanya mengapa darah dan air mata selalu ada?

Jangan pernah bertanya mengapa cinta tak terdefinisikan?

Jangan pernah bertanya! Karena semua itu adalah nafsu.

Seperti Harut dan marut, malaikat yang dibuang ke sebuah telaga di babylonia lalu kemudian mati hanya karena ingin memiliki nafsu.

Do’a tidurku

Wahai, Tuhan yang berada dalam jiwaku.

Terpujilah diriMu yang menguasai tidur dan mimpiku.

Yang menidurkan matahari dan menyadarkan bulan,

Yang Maha benar dan Maha salah.

Jadikanlah tidur dan mimpiku dekat denganmu.

Sedekat hidungku dengan nafasku,

Sedekat jantung dan hatiku,

Sedekat raga dan jiwaku!